Perbedaan antara yang MUNGKIN dan TIDAK MUNGKIN, terletak pada TEKAD KITA.

Rabu, 30 Juli 2014

HALAL BI HALAL



Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat keterangan bahwa halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini, maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293).

Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut, ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal bi halal ini. Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:
“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)

Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”, yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal.

Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab, tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam” mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi.

Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam !

Oleh Achmad Zuhdi Dh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar