Perbedaan antara yang MUNGKIN dan TIDAK MUNGKIN, terletak pada TEKAD KITA.

Minggu, 06 Juli 2014

KHUTBAH IDUL FITRI 1435 HIJRIYYAH Kemurahan Hati untuk mengarungi Hidup Pasca Ramadhan




Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah.


Hamparan keindahan panorama  temaram senja di Bulan Suci  dengan segala nilai estetisnya, Seiring dengan terbenamnya Sang Mentari  29 Ramadhan di sela-sela pepohonan pinggiran Mahakam.  Seketika bulan sabit 1 syawal mengintip malam jagat raya, sampai sang pajar mulai menampakkan senyum cerah di ufuk Timur sana...Alam jiwa kita sontak berganti rasa, berubah nuansa.
Bahana dan gema suara takbir, tahlil, dan tahmid, telah menggetarkan alam maya pada, bergelora dan bergemuruh  memenuhi  angkasa raya, menembus cakrawala, menyusuri pelangi, hingga lapisan atmosfir, serta langit biru sampai ke mustawa. Di sana, dengan gegap gempita, gemuruh riuh suara Malaikat yang sedang thawaf di Baitul makmur, mengagungkan Asma Allah dengan khusuk, yang bersemayam di ‘Arsy singasana kekuasaan-Nya.
Di Masjid Nurul Iman, di tempat yang suci ini,  kita dapat rasakan betapa besar kemahaagungan Sang Maha  Pencipta, kita dapat rasakan, betapa bermaknanya  Rahmat yang dilimpahkan-Nya, betapa banyak Hidayah yang diturunkan-Nya, betapa tinggi Nilai Kasih dan Sayang yang diberikan-Nya.  Semuanya telah melebur menjadi kenikmatan azali, berputar dalam satu poros dan menyatu mengikuti irama syahdu silih berganti. Allahu Akbar x3 Allahu Akbar Walillahil hamd.
Shalawat dan Salam sepantasnya, terus kita gelorakan dan kumandangkan wabil khusus kepada seorang pelopor kebenaran hakiki yang membawa agama suci, Pemimpin Teladan penuh karismatik, Nabiyullah akhirul zaman, Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, para sahabat, para pengikut-pengikut-nya, semoga kita termasuk orang-orang yang akan mendapatkan syafaat dari Beliau baik sekarang maupun kelak di Yaumil Masyar.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah.
Di hari yang berbahagia ini izinkan Khotib yang dhaif, yang jauh dari sempurna mengangkat judul Khutbah “Kemurahan Hati untuk mengarungi Hidup Pasca Ramadhan”. Sebagai orang beriman tentu kita memahami bahwa segala anugerah dan nikmat batin yang kita rasakan di hari raya in,i tidaklah terjadi begitu saja. Allah SWT jualah yang telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah menghendaki hadirnya rasa bahagia dan  rasa haru di hati kita, tatkala membayangkan wajah-wajah orang yang kita kasihi tidak lagi bersama kita di hari yang penuh bahagia ini.
Kemudian, adakah senar-senar jiwa kita masih bergetar, untuk sedikit saja mengingat kepada orang tua yang telah berjasa membesarkan kita. Adakah kita terkenang dengan buaian kasih yang mereka korbankan ketika kita masih kecil mungil. Ketika mereka merawat kita dengan balutan kasih sayang tulus yang tanpa mengharap balasan. Ketika mereka bekerja keras dengan keringat yang selalu mengalir di kulit tubuhnya yang sudah renta?
Mereka tak pedulikan keadaan fisik yang sudah lemah dan renta dari berpagai penyakit.
Mereka tak mempedulikan kulitnya semakin hitam dan keriput..
Adakah ??  Adakah  kita terlintas,  ketika di atas sejadah lusuh mereka selalu berdoa dengan khusuk, yang tak jarang keluar tetes demi tetes butiran bening meleleh membasahi pipi untuk keberhasilan sang ananda tercinta. Mereka menyumbangkan air mata karena rasa kasih sayang yang begitu tulus.
Adakah kita sadar dengan perjuangan gigih, pengorbanan mulia, dan kasih sayang tulus yang turut mengiringi keberhasilan kita? Pernahkah kita memandang tatapan kosong matanya yang kecewa karena ulah sang anaknya. Karena anaknya jarang untuk sekadar berkunjung ke rumahnya setelah berkeluarga. Karena kesibukan duniawi yang terlalu banyak menyita waktu kita. Karena kerinduannya kepada cucu-cunya.
Kalau saja mereka masih hidup, Apapun dan bagaimanapun keadaannya saatnya kita bersilaturrahim, kita duduk bersimpuh di hadapan mereka, kita cium tangannya kita peluk dengan penuh perasaan yang tulus untuk memohon ampun atas kealfaan, kehilapan, dan kesalahan kita selama ini. Ciptakan perasaan bahagia dalam diri mereka. Biarkan mereka tersenyum bangga ketika berpelukan dengan menantu dan cucu mereka. Bersyukur bagi kita yang orang tuanya masih hidup.
Bilamana sekarang mereka telah berpulang ke Rahmatullah, Hanya doa yang dapat kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan kita untuk mereka yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut keriput, dan dulu pernah kita peluk erat tubuhnya yang telah tua renta. Kini kebersamaan itu tiada lagi, sosok orang-orang yang kita kasihi itu kini terkulai di bawah seonggok tanah berbatu nisan, makamnya yang belum tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita. Kita titip doa  tulus..agar mereka tetap tenang di Alam yang sekarang mereka tempati, dan bisa tertawa melihat anak cucunya hidup dalam kesolehan dan teguh mempertahankan agama Islam serta ajaran Rasulullah SAW.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah.
Idul fitri adalah ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita : demikian pendapat  Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya
Idul Fitri hakekatnya sebuah momen bagi setiap muslim untuk meningkatkan amal dan ibadah, dengan mempererat tali silaturrahim, memperkokoh persaudaraan, persatuan,  dan kekompakan.
Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Raya Kemenangan dan Kesucian. Disebut “Kemenangan” karena kita telah menang melawan hawa nafsu angkara murka. Dikatakan “Kesucian “ karena kita akan kembali kepada jiwa yang suci tanpa noda, kita kembali dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Bulan Ramadahan adalah bulan yang difardhukan atasmu berpuasa di dalamnya. Dan aku sunahkan bagimu shalat pada malam harinya. Maka barang siapa yang berpuasa pada siang harinya dan shalat pada malam harinya mengikuti imam dan mengharap ridha dari Allah semata, keluarlah ia dari dosa-dosanya bagaikan bayi yang baru lahir dari Ibunya. (HR Thabrani dan Ibnu Majjah)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah.
Marilah kita merefleksi sejenak kemenangan dari hasil perjuangan kita yang dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam keseharian hidup sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara kemenangan itu adalah:
Kemurahan Hati  Kita yang Mengalahkan Sifat Kikir dan Tamak
Ketamakan dan kekikiran adalah sisi buruk dari perilaku manusia yang mendatangkan mudharat. Inilah sumber malapetaka sosial yang melanda umat negeri ini. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melanda negeri ini telah memporak-porandakan pranata sosial di tengah-tengah masyarakat. Jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, ulama dan umatnya semakin terasa begitu menganga. Di tengah maraknya kemewahan yang dipertontonkan oleh kalangan elit yang semakin materialistik di atas negeri yang bertebaran 60 juta orang miskin ini sangat mungkin menimbulkan ‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan ‘kemarahan massal’ dari mereka secara langsung ataupun tidak menjadi korban ketamakan dan kebakhilan kalangan elit di negeri ini.
Ramadhan telah mengantarkan manusia lebih dekat kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Membangun kecintaan kepada sesama manusia, menebarkan kasih sayang, silaturahim, serta menebar kemurahan hati akan menciptakan pranata sosial yang bersahaja karena akan terjadi harmoni yang indah antara semua elemen dalam masyarakat; antara kaya dan miskin, konglomerat dan kaum melarat, pejabat dan rakyat jelata, pemimpin dan bawahan, ulama dan umat dan seterusnya. Di bulan Ramadhan kepekaan sosial kita terasah. Dengan puasa, kita terlatih untuk melakukan pengorbanan dan bermurah hati.
Dr. Carl, seorang psiko analis mengatakan, “untuk mencapai peningkatan yang simultan dan menyeluruh harus diikuti dengan pengorbanan dan ketulusan.
Ketulusan adalah bahasa kalbu yang tertanam (ter-install) dalam fitrah manusia.

Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.
Ketulusan itu sejernih tetes embun, sehangat dekapan ibu, seindah lukisan alam dan seharum wewangian surga.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS al-Insân [76] : 9)
Kemurnian jiwa hanya dapat dicapai dengan mengorbankan materi dan popularitas. Pengorbanan diri adalah kebiasaan orang-orang yang memahami keadilan dan kebenaran iman kepada Allah. Orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk keadilan, cinta dan keharmonisan telah mampu mengawinkan antara akal, cinta serta kasih sayang. Pada keadaan inilah manusia akan mencapai puncak mega keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin inilah yang sering kita anggap dengan kepuasan batin yang tak dapat dinilai dengan harta.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang murah hati dan berakhlak baik selalu berada di bawah lindungan Allah. Allah selalu dekat dengan mereka dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan. Tidak ada seorang yang adil yang tidak memiliki sifat pemurah dan kasih sayang”.
Sebagai inti dari Khutbah ini mari kita renungkan Sebuah Kisah Kemurahan Hati dari seorang Sahabat Rasululklah SAW ..Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahuwajhah. Yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA
Suatu ketika kedua putra Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain sedang sakit parah, maka Ali dan istrinya Fathimah binti Rasulullah bernazar apabila kedua putra mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur.
Doa Mereka langsung diijabah Allah, Atas karunia Allah SWT kedua anak mereka pun sembuh. Keduanya pun mulai berpuasa nazar. Akan tetapi mereka tidak memiliki sesuatu walau sekadar untuk makan sahur dan berbuka. Mereka berpuasa dalam keadaan sangat lapar.
Pada pagi harinya, Ali pergi kepada seorang Yahudi bernama Syam’un. Ali kemudian berkata kepadanya: ‘Jika engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol dengan imbalan, maka istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu menyetujui dengan kesepakatan satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada hari pertama, Fathimah memintal sepertiga bagian wol, kemudian ditukarkan dengan 1 sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti kering, yakni untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba sahaya perempuannya bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba. Ali baru saja kembali dari shalat Maghrib berjamaah dengan Rasulullah. Fathimah pun dalam keadaan letih setelah bekerja seharian penuh kemudian menyiapkan hidangan untuk keluarganya, tikar alas makan telah dibentangkan, di atasnya telah disiapkan roti dan air. Ali mengambil roti bagiannya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara seorang fakir dari balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap belas kasih agar diberi makanan, ‘Wahai keluarga Muhammad, aku seorang fakir, berilah makanan kepadaku, semoga Allah SWT memberimu makan dari makanan surga’. Ali kemudian mendatangi pengemis itu dan memberikan roti keringnya. Seluruh keluarganya juga tak tinggal diam, mereka juga memberikan roti mereka. Ali memberitahukan bahwa dia telah memberikan rotinya kepada pengemis itu. Namun mereka menjawabnya, ‘kami juga ingin memperoleh kehormatan di sisi Allah seperti engkau, biarkanlah kami memberikan milik kami’. Akhirnya mereka pun hanya berbuka dengan segelas air pada hari itu. Allah menguji mereka dengan keadaan itu selama tiga hari, dengan berturut-turut didatangi oleh anak yatim dan seorang tawanan dan mereka pun melakukan hal yang sama.
Pada hari ke empat mereka memang tidak berpuasa, tetapi apalah juga yang mau dimakan. Hari itu tak ada makanan apapun di rumah mereka. Ali RA kemudian membawa kedua anaknya Hasan dan Husain sambil berjalan tertatih-tatih karena menahan lapar mengunjungi Rasulullah SAW sekadar untuk menghibur hati. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ‘Sungguh menyedihkan hatiku melihat kalian menderita kekurangan dan kesengsaraan. Mari kita temui Fathimah’. Rasulullah SAW menemui putrinya Fathimah yang dilihatnya sedang mengerjakan shalat nafil. Mata Fathimah terlihat cekung. Perutnya tertarik sampai menempel ke punggung karena sangat lapar. Rasulullah SAW kemudian memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan rahmat Allah baginya dan keluarganya. Pada saat itulah malaikat Jibril AS mendatangi Rasulullah SAW untuk menyampaikan kabar dan wahyu.
Kejadian itu telah menggetarkan ‘Arsy Allah karena para Malaikat bertasbih memuji perilaku keluarga yang mulia itu. Kisah inilah yang menjadi asbab nuzulnya Surat al-Insan, di mana pada ayat ke-8 dan 9 Allah SWT berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8 – 9)
Demikianlah sekelumit untaian dan uraian khutbah ini, semoga di moment idul fitri ini, Allah melimpahkan kemurahan hati kepada kita untuk berbagi dengan sesama, Mudah-mudahan pula Allah mengampuni segala dosa kita, menerima seluruh amal ibadah shaum kita, meridhai kita, dan memasukkan kita ke dalam surga-Nya.
 Amin ya robbal ‘alamin.

1 komentar: