Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku
Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul
Fitri Rahimakumullah.
Hamparan keindahan
panorama temaram senja di Bulan
Suci dengan segala nilai estetisnya, Seiring
dengan terbenamnya Sang Mentari 29
Ramadhan di sela-sela pepohonan pinggiran Mahakam. Seketika bulan sabit 1 syawal mengintip malam
jagat raya, sampai sang pajar mulai menampakkan senyum cerah di ufuk Timur
sana...Alam jiwa kita sontak berganti rasa, berubah nuansa.
Bahana dan gema
suara takbir, tahlil, dan tahmid, telah menggetarkan alam maya pada, bergelora
dan bergemuruh memenuhi angkasa raya, menembus cakrawala, menyusuri
pelangi, hingga lapisan atmosfir, serta langit biru sampai ke mustawa. Di sana,
dengan gegap gempita, gemuruh riuh suara Malaikat yang sedang thawaf di Baitul
makmur, mengagungkan Asma Allah dengan khusuk, yang bersemayam di ‘Arsy
singasana kekuasaan-Nya.
Di Masjid Nurul
Iman, di tempat yang suci ini, kita dapat rasakan betapa besar kemahaagungan Sang
Maha Pencipta, kita dapat rasakan,
betapa bermaknanya Rahmat yang
dilimpahkan-Nya, betapa banyak Hidayah yang diturunkan-Nya, betapa tinggi Nilai
Kasih dan Sayang yang diberikan-Nya. Semuanya telah melebur menjadi
kenikmatan azali, berputar dalam satu poros dan menyatu mengikuti irama syahdu
silih berganti. Allahu Akbar x3 Allahu Akbar Walillahil hamd.
Shalawat dan
Salam sepantasnya, terus kita gelorakan dan kumandangkan wabil khusus kepada
seorang pelopor kebenaran hakiki yang membawa agama suci, Pemimpin Teladan
penuh karismatik, Nabiyullah akhirul zaman, Nabi Muhammad SAW, beserta para
keluarga, para sahabat, para pengikut-pengikut-nya, semoga kita termasuk
orang-orang yang akan mendapatkan syafaat dari Beliau baik sekarang maupun
kelak di Yaumil Masyar.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku
Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul
Fitri Rahimakumullah.
Di hari yang berbahagia ini izinkan
Khotib yang dhaif, yang jauh dari sempurna mengangkat judul Khutbah “Kemurahan Hati untuk mengarungi Hidup Pasca
Ramadhan”. Sebagai orang beriman tentu kita
memahami bahwa segala anugerah dan nikmat batin yang kita rasakan di hari raya
in,i tidaklah terjadi begitu saja. Allah SWT
jualah yang telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah menghendaki
hadirnya rasa bahagia dan rasa haru di hati kita,
tatkala membayangkan wajah-wajah orang yang kita kasihi tidak lagi bersama kita
di hari yang penuh bahagia ini.
Kemudian, adakah
senar-senar jiwa kita masih bergetar, untuk sedikit saja mengingat kepada orang
tua yang telah berjasa membesarkan kita. Adakah kita terkenang dengan buaian
kasih yang mereka korbankan ketika kita masih kecil mungil. Ketika mereka
merawat kita dengan balutan kasih sayang tulus yang tanpa mengharap balasan.
Ketika mereka bekerja keras dengan keringat yang selalu mengalir di kulit
tubuhnya yang sudah renta?
Mereka tak
pedulikan keadaan fisik yang sudah lemah dan renta dari berpagai penyakit.
Mereka tak
mempedulikan kulitnya semakin hitam dan keriput..
Adakah ?? Adakah
kita terlintas, ketika di atas
sejadah lusuh mereka selalu berdoa dengan khusuk, yang tak jarang keluar tetes
demi tetes butiran bening meleleh membasahi pipi untuk keberhasilan sang ananda
tercinta. Mereka menyumbangkan air mata karena rasa kasih sayang yang begitu
tulus.
Adakah kita
sadar dengan perjuangan gigih, pengorbanan mulia, dan kasih sayang tulus yang
turut mengiringi keberhasilan kita? Pernahkah kita memandang tatapan kosong
matanya yang kecewa karena ulah sang anaknya. Karena anaknya jarang untuk
sekadar berkunjung ke rumahnya setelah berkeluarga. Karena kesibukan duniawi
yang terlalu banyak menyita waktu kita. Karena kerinduannya kepada cucu-cunya.
Kalau saja
mereka masih hidup, Apapun dan bagaimanapun keadaannya saatnya kita
bersilaturrahim, kita duduk bersimpuh di hadapan mereka, kita cium tangannya kita
peluk dengan penuh perasaan yang tulus untuk memohon ampun atas kealfaan,
kehilapan, dan kesalahan kita selama ini. Ciptakan perasaan bahagia dalam diri
mereka. Biarkan mereka tersenyum bangga ketika berpelukan dengan menantu dan
cucu mereka. Bersyukur bagi kita yang orang tuanya masih hidup.
Bilamana
sekarang mereka telah berpulang ke Rahmatullah, Hanya
doa yang dapat kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan kita untuk mereka
yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut keriput, dan dulu pernah
kita peluk erat tubuhnya yang telah tua renta. Kini kebersamaan itu tiada lagi,
sosok orang-orang yang kita kasihi itu kini terkulai di bawah seonggok tanah
berbatu nisan, makamnya yang belum tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga
Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita. Kita titip doa tulus..agar mereka tetap tenang di Alam yang sekarang
mereka tempati, dan bisa tertawa melihat anak cucunya hidup dalam kesolehan dan
teguh mempertahankan agama Islam serta ajaran Rasulullah SAW.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku
Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul
Fitri Rahimakumullah.
Idul
fitri adalah ajang
tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen
mengasah kepekaan sosial kita : demikian pendapat Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya
Idul
Fitri hakekatnya sebuah momen bagi setiap muslim untuk meningkatkan amal dan
ibadah, dengan mempererat tali silaturrahim, memperkokoh
persaudaraan, persatuan, dan kekompakan.
Hari Raya Idul
Fitri adalah Hari Raya Kemenangan dan Kesucian. Disebut “Kemenangan” karena kita telah menang melawan hawa nafsu angkara
murka. Dikatakan “Kesucian “ karena
kita akan kembali kepada jiwa yang suci tanpa noda, kita kembali dalam keadaan
fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Bulan Ramadahan adalah bulan yang
difardhukan atasmu berpuasa di dalamnya. Dan aku sunahkan bagimu shalat pada
malam harinya. Maka barang siapa yang berpuasa pada siang harinya dan shalat
pada malam harinya mengikuti imam dan mengharap ridha dari Allah semata,
keluarlah ia dari dosa-dosanya bagaikan bayi yang baru lahir dari Ibunya. (HR
Thabrani dan Ibnu Majjah)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Bapak, Ibu, Saudara-Saudaraku
Kaum Muslimin Wal Muslimat
Hadirin Jama’ah Shalat Idul
Fitri Rahimakumullah.
Marilah
kita merefleksi sejenak kemenangan dari hasil perjuangan kita yang
dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita
pertahankan dalam keseharian hidup sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara
kemenangan itu adalah:
Kemurahan Hati Kita yang Mengalahkan Sifat
Kikir dan Tamak
Ketamakan
dan kekikiran adalah sisi buruk dari perilaku manusia yang mendatangkan
mudharat. Inilah sumber malapetaka sosial yang melanda umat negeri ini.
Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melanda negeri ini telah
memporak-porandakan pranata sosial di tengah-tengah masyarakat. Jurang pemisah
antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, ulama dan umatnya semakin terasa
begitu menganga. Di tengah maraknya kemewahan yang dipertontonkan oleh kalangan
elit yang semakin materialistik di atas negeri yang bertebaran 60 juta orang
miskin ini sangat mungkin menimbulkan ‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan
‘kemarahan massal’ dari mereka secara langsung ataupun tidak menjadi korban
ketamakan dan kebakhilan kalangan elit di negeri ini.
Ramadhan
telah mengantarkan manusia lebih dekat kepada nilai-nilai kemanusiaannya.
Membangun kecintaan kepada sesama manusia, menebarkan kasih sayang,
silaturahim, serta menebar kemurahan hati akan menciptakan pranata sosial yang
bersahaja karena akan terjadi harmoni yang indah antara semua elemen dalam
masyarakat; antara kaya dan miskin, konglomerat dan kaum melarat, pejabat dan
rakyat jelata, pemimpin dan bawahan, ulama dan umat dan seterusnya. Di bulan
Ramadhan kepekaan sosial kita terasah. Dengan puasa, kita terlatih untuk
melakukan pengorbanan dan bermurah hati.
Dr.
Carl, seorang psiko analis mengatakan, “untuk mencapai peningkatan yang simultan
dan menyeluruh harus diikuti dengan pengorbanan dan ketulusan.
Ketulusan adalah bahasa kalbu yang tertanam
(ter-install) dalam fitrah
manusia.
Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.
Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.
Ketulusan itu sejernih tetes embun,
sehangat dekapan ibu, seindah lukisan alam dan seharum wewangian surga.
Sesungguhnya kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS al-Insân [76] : 9)
Kemurnian
jiwa hanya dapat dicapai dengan mengorbankan materi dan popularitas.
Pengorbanan diri adalah kebiasaan orang-orang yang memahami keadilan dan
kebenaran iman kepada Allah. Orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk
keadilan, cinta dan keharmonisan telah mampu mengawinkan antara akal, cinta
serta kasih sayang. Pada keadaan inilah manusia akan mencapai puncak mega
keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin inilah yang sering kita
anggap dengan kepuasan batin yang tak dapat dinilai dengan harta.
Rasulullah
SAW bersabda: “Orang yang murah hati dan berakhlak baik selalu berada di bawah
lindungan Allah. Allah selalu dekat dengan mereka dan akan membimbing mereka
menuju kebahagiaan. Tidak ada seorang yang adil yang tidak memiliki sifat
pemurah dan kasih sayang”.
Sebagai inti dari Khutbah ini mari kita
renungkan Sebuah Kisah Kemurahan Hati dari seorang Sahabat Rasululklah SAW
..Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahuwajhah. Yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
RA
Suatu
ketika kedua putra Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain sedang sakit parah,
maka Ali dan istrinya Fathimah binti Rasulullah bernazar apabila kedua putra
mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur.
Doa Mereka langsung diijabah Allah, Atas karunia Allah SWT kedua anak mereka pun sembuh.
Keduanya pun mulai berpuasa nazar. Akan tetapi mereka tidak memiliki sesuatu
walau sekadar untuk makan sahur dan berbuka. Mereka berpuasa dalam keadaan
sangat lapar.
Pada
pagi harinya, Ali pergi kepada seorang Yahudi bernama Syam’un. Ali kemudian
berkata kepadanya: ‘Jika engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol
dengan imbalan, maka istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu
menyetujui dengan kesepakatan satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada
hari pertama, Fathimah memintal sepertiga bagian wol, kemudian ditukarkan
dengan 1 sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti
kering, yakni untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba sahaya
perempuannya bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba. Ali baru saja
kembali dari shalat Maghrib berjamaah dengan Rasulullah. Fathimah pun dalam
keadaan letih setelah bekerja seharian penuh kemudian menyiapkan hidangan untuk
keluarganya, tikar alas makan telah dibentangkan, di atasnya telah disiapkan
roti dan air. Ali mengambil roti bagiannya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup
suara seorang fakir dari balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap
belas kasih agar diberi makanan, ‘Wahai keluarga Muhammad, aku seorang fakir,
berilah makanan kepadaku, semoga Allah SWT memberimu makan dari makanan surga’.
Ali kemudian mendatangi pengemis itu dan memberikan roti keringnya. Seluruh
keluarganya juga tak tinggal diam, mereka juga memberikan roti mereka. Ali
memberitahukan bahwa dia telah memberikan rotinya kepada pengemis itu. Namun
mereka menjawabnya, ‘kami juga ingin memperoleh kehormatan di sisi Allah
seperti engkau, biarkanlah kami memberikan milik kami’. Akhirnya mereka pun
hanya berbuka dengan segelas air pada hari itu. Allah menguji mereka dengan
keadaan itu selama tiga hari, dengan berturut-turut didatangi oleh anak yatim
dan seorang tawanan dan mereka pun melakukan hal yang sama.
Pada
hari ke empat mereka memang tidak berpuasa, tetapi apalah juga yang mau dimakan.
Hari itu tak ada makanan apapun di rumah mereka. Ali RA kemudian membawa kedua
anaknya Hasan dan Husain sambil berjalan tertatih-tatih karena menahan lapar
mengunjungi Rasulullah SAW sekadar untuk menghibur hati. Rasulullah SAW
kemudian bersabda: ‘Sungguh menyedihkan hatiku melihat kalian menderita
kekurangan dan kesengsaraan. Mari kita temui Fathimah’. Rasulullah SAW menemui
putrinya Fathimah yang dilihatnya sedang mengerjakan shalat nafil. Mata
Fathimah terlihat cekung. Perutnya tertarik sampai menempel ke punggung karena
sangat lapar. Rasulullah SAW kemudian memeluk putrinya dengan penuh kasih
sayang dan mendoakan rahmat Allah baginya dan keluarganya. Pada saat itulah
malaikat Jibril AS mendatangi Rasulullah SAW untuk menyampaikan kabar dan
wahyu.
Kejadian
itu telah menggetarkan ‘Arsy Allah karena para Malaikat bertasbih memuji
perilaku keluarga yang mulia itu. Kisah inilah yang menjadi asbab nuzulnya
Surat al-Insan, di mana pada ayat ke-8 dan 9 Allah SWT berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8 – 9)
Demikianlah sekelumit untaian dan
uraian khutbah ini, semoga di moment idul fitri ini, Allah melimpahkan
kemurahan hati kepada kita untuk berbagi dengan sesama, Mudah-mudahan pula Allah mengampuni segala dosa kita,
menerima seluruh amal ibadah shaum kita, meridhai kita, dan memasukkan kita ke
dalam surga-Nya.
Amin ya robbal ‘alamin.
Amin ya robbal ‘alamin.
Subhanallah.. izin copas
BalasHapus