F.W. Foerster seorang pedagog asal Jerman adalah orang pertama yang mencetuskan istilah pembentukan karakter anak. Terminologi ini mengacu pada pendekatan idealis spiritualis dalam karakter individu seseorang. Prioritasnya adalah terwujudnya karakter anak yang dapat menjadi agen penggerak sejarah perubahan sosial. Namun sebenarnya pembentukan karakter telah lama menjadi bagian inti sejarah itu sendiri. Gagasan pembentukan karakter anak bangsa yang unggul telah ada sejak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Presiden Soekarno menyatakan perlunya nation and character building atau bangsa dan pembangunan karakter, sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Beliau menyadari bahwa karakter suatu bangsa yang kuat, berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa secara universal
Bagaimana pembentukan karakter anak bangsa dalam
sorotan kacamata ajaran Islam? Menurut konsep Islam, pembentukan karakter anak
bangsa diarahkan pada tujuan melahirkan suatu generasi baru dengan segala
cirri-cirinya yang unggul dan beradab. Pembentukan karakter anak bangsa ini
harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dalam bingkai mencapai keridhaan Allah.
Islam menghendaki terbentuknya karakter anak bangsa yang paripurna, baik
menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi, atau dengan kata lain menyentuh aspek
rohani, intelektual dan jasmani. Oleh karena itu proses pembentukan karakter
anak bangsa harus didukung oleh berbagai aspek, terutama aspek pendidikan dalam
keluarga. Hal ini tentu sangat beralasan, karena dalam fitrahnya setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci, putih bersih bagaikan selembar kertas yang belum
ternoda. Ia akan berkembang sesuai dengan bentuk pendidikan yang diperoleh dari
kedua orang tuanya dan lingkungan sekitarnya.
Sebagai rujukan pembahasan ini, marilah kita simak firman Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam
tafsir al-Misbah volume 15 menulis pada halaman 177. Tafsir ayat tersebut
menegaskan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari keluarga. Walau
secara redaksional ayat ini tertuju pada kaum pria selaku ayah, namun makna
yang dikandungnya menuntut kedua orang tua secara bersama-sama harus
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Mujahid ternama Sufyan As-Sauri
menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada pemimpin keluarga untuk
senantiasa bertakwa kepada Allah dan berpesan kepada ahli keluarganya untuk
berada dalam koridor ajaran agama Islam. Demikian pula yang dikemukakan oleh
Maqatil bin Hayyan, bahwa setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya,
tentang hal-hal yang diwajibkan Allah serta apa-apa yang dilarang-Nya, sebagai
bentuk tanggung jawab terhadap amanah Allah. Sebuah keluarga seyogyanya
menciptakan rumah tangga yang dihiasi nilai-nilai agama serta dinaungi oleh
hubungan yang harmonis.
Mengapa anak perlu dijaga agar tetap
berada dalam koridor agama? Jawabannya adalah karena pembentukan karakter
bukanlah hal yang instan dan dapat terwujud begitu saja. Perubahan karakter
dapat terjadi bila kaeluarga tidak istiqomah dalam membina putra-putrinya.
Apalagi di tengah arus teknologi informasi yang kian tiudak terkendali,
terkadang membawa persoalan baru. Ketika anak beranjak dewasa, ia menampakkan
wajah manis dan santun, penuh bakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah,
bergaul dengan baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Tetapi di suatu saat
dapat pula berubah sebaliknya, perilakunya mencerminkan keburukan akhlaknya,
kenakalan berubah menjadi bentuk kejahatan, sehingga orang tua pun selalu hidup
dalam bayang kecemasan. Oleh karena itu, peran keluarga sangat berpengaruh
dalam mengawal tumbuh kembang karakter anak secara teratur dan sistematis.
Bagaimana
karakter anak bangsa yang diharapkan mampu tampil sebagai agent of change, pembawa perubahan dalam lingkup sosial masyarakat kita? Jawabannya dapat kita simak
pada firman Allah dalam surah al-Furqaan ayat 74, yang artinya:
Dan orang orang yang
berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.
Maha Agung Allah yang telah
menciptakan al-Qur’an sebagai mukjizat, pedoman hidup yang sempurna, tiada cacat
dan tiada sia-sia. Salah satu mukjizatnya adalah ayat-ayat yang terdiri dari
susunan kata yang sempurna dan penuh makna, yang tepat dan tidak akan
menimbulkan keraguan.
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya
menjelaskan ayat tersebut secara semantik, bahwa kata al-ladzina menunjuk kepada mereka yang memanjatkan doa dan
permohonannya kepada Allah Swt. Doa yang mereka panjatkan adalah agar
dikaruniai dzurriyah atau keturunan yang dapat menjadi qurrata a’yun. Kata qurrata
a’yun merupakan kinayah atau kata kiasan
dari al-surtir wa al-farah atau rasa senang dan gembira. Ditegaskan pula
oleh Fakhruddin al-Razi, tidak ada keraguan bahwa yang dimaksud dengan qurrata a’yun tersebut adalah perilaku
dalam perkara agama yang dapat menyejukkan hati orang tua. Bukan dalam urusan
dunia seperti harta kekayaan, pangkat, jabatan, atau ketampanan dan kecantikan.
Akan tetapi membentuk pribadi sempurna, berakhlak paripurna, berilmu maliyah,
beramal ilmiyah.
Sebagai kesimpulan tulisan ini,
keluarga adalah garda depan dalam pembentukan karakter anak bangsa. Pendidikan
dalam keluarga akan memberi pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan
pribadi anak bangsa. Dari keluarga yang unggul akan lahir seorang anak bangsa
yang unggul, anak bangsa yang berkhlakul karimah, beriman dan teguh pendirian,
pandai mempertahankan aqidah, pintar membela keyakinan, tampil sebagai
putra-putri dunia yang lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin
bangkai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar